Senin, 27 Agustus 2012

Alami Belum Tentu Aman



Berkebalikan dengan perkembangan zaman, pola hidup kebanyakan orang semakin hari semakin kurang baik. Salah satu faktornya adalah tekanan kehidupan yang sangat tinggi sehingga sebagian besar orang membiasakan kehidupan serba instan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kesehatan mereka.
Kehidupan serba instan ini misalnya terlihat pada kebiasaan menggunakan kendaraan yang menyebabkan jarangnya kegiatan berjalan kaki. Makanan yang dikonsumsi pun banyak yang merupakan makanan instan. Kecepatan dan rasa merupakan fokus utama, tanpa memikirkan efek jangka panjang maupun gizi yang perlu diserap.
Tak ayal, hal tersebut menimbulkan penyakit yang tak pandang usia dan pada akhirnya membawa banyak orang pada berbagai jenis pengobatan, mulai dari pengobatan medis, pengobatan alternatif, bahkan hingga yang sifatnya supranatural pun dicoba. Seiring dengan ini, konsumsi obat-obat sintetik pun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, penggunaan obat tersebut kini menimbulkan keraguan disebabkan munculnya efek samping yang tidak diinginkan. Hal ini mendorong adanya paradigma untuk memaksimalkan pengobatan ‘kembali kepada alam’. Obat herbal, demikian istilahnya di masyarakat.
Namun, tahukah Anda bahwa obat herbal tidak selamanya baik bagi kesehatan?
Let’s check it out!
Istilah herbal biasanya diidentikan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak berkayu atau dengan kata lain perdu. Dalam dunia pengobatan, istilah herbal berkenaan dengan segala jenis tumbuhan dan atau seluruh bagian-bagiannya yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat digunakan sebagai obat (therapeutic). Contohnya adalah mengkudu hutan atau Morinda citrifolia dengan kandungan moridin (berguna sebagai bahan aktif anti kanker) dan pegagan atau Centela asiatica dengan kandungan asiaticosidem (berguna untuk mengatasi permasalahan kulit dan meningkatkan IQ). Pengertian obat herbal adalah obat dari tumbuhan yang diproses atau diekstrak sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil, atau cairan. Dalam proses pembuatannya, obat herbal tidak menggunakan zat kimia sintetik .
Berdasarkan sudut pandang farmakognosi, obat herbal dapat dibagi menjadi tiga. Kelompok pertama adalah jamu. Jamu merupakan tumbuhan yang diekstrak dan dijadikan sebagai obat, namun belum teruji secara klinis maupun pra-klinis. Pada umumnya jamu dipilih karena resep tradisional turun-temurun untuk kesehatan ataupun pengobatan. Yang kedua adalah obat herbal terstandar. Kelompok ini sudah terspesifikasi, maksudnya yang terdapat di dalam obat tersebut adalah senyawa penting untuk penyakit tertentu saja sehingga lebih efektif untuk pengobatan. Selain itu, obat ini sudah teruji secara pra-klinis atau dengan kata lain sudah diuji di dalam sel makhluk hidup lain (hewan). Yang ketiga adalah fitofarmaka. Kelompok ini paling baik kualitasnya karena dibuat dengan pengolahan senyawa tertentu untuk pengobatan tertentu pula sehingga zat-zat yang tidak perlu tidak akan ikut terkonsumsi. Obat ini telah teruji secara klinis, yakni sudah pernah diujicobakan pada manusia sehingga kualitasnya terjamin .
Pada dasarnya, pengobatan dengan obat herbal dilakukan melalui pendekatan yang bersifat holistik, yaitu tubuh manusia dipandang memiliki suatu sistem harmoni yang selalu seimbang . Apabila ada salah satu bagian tubuh bermasalah, akan timbul pula masalah pada bagian tubuh yang lain. Obat herbal di sini bekerja dengan cara memberi energi pada organ tubuh dan kelenjar tertentu serta menyeimbangkan kondisi tubuh sehingga membantu mengembalikan keharmonisan dan keseimbangan tubuh secara keseluruhan. Dalam aplikasinya, pengobatan dengan obat herbal diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan sistem imun tubuh untuk melawan patogen (bibit penyakit) dari luar.
Banyak orang beranggapan bahwa obat herbal lebih aman daripada obat sintetik karena efek sampingnya lebih kecil. Dari sini timbul anggapan bahwa mengonsumsi obat herbal dalam jangka panjang tidak akan menimbulkan komplikasi dalam tubuh kita. Betulkah demikian?
Ketidaktepatan menggunakan obat herbal sering kali dijumpai saat ini, baik disebabkan kesalahan informasi yang ada, maupun anggapan yang keliru mengenai penggunaan obat herbal sehingga tidak jarang justru obat herbal malah menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Harapan untuk sembuh pun sirna karena timbul masalah-masalah baru.
Dalam hal ini, ada beberapa contoh tanaman obat yang perlu diperhatikan, misalnya daun seledri (Apium graveolens). Tanaman ini mampu menurunkan darah tinggi, namun apabila dosisnya berlebih dapat menurunkan tekanan darah secara drastis. Oleh karena itu, jangan mengonsumsi lebih dari satu gelas perasan seledri untuk sekali minum. Selain itu, minyak dari tanaman jarak (Oleum recini) dapat digunakan untuk mengobati masalah pencernaan, namun jika penggunaannya tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Lain pula dengan keci beling (Strobilantus crispus), tanaman ini dapat mengobati batu ginjal, namun apabila dikonsumsi lebih dari 2 gram sekali minum dapat menimbulkan iritasi saluran kemih . Pada beberapa pasien yang mengonsumsi tanaman tersebut untuk pengobatan batu ginjal, ditemukan adanya sel-sel darah merah dengan jumlah melebihi batas normal pada urinnya. Hal ini mungkin disebabkan daun kecibeling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih.  Contoh lainnya adalah buah pare. Seorang pria penderita diabetes mendadak mengalami impotensi setelah rutin mengonsumsi buah pare untuk menurunkan gula darahnya. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata hal itu disebabkan buah pare yang dikonsumsi adalah mentah dan overdosis . Hal ini juga harus diperhatikan pada pengonsumsian buah mahkota dewa dan temu putih yang dijadikan andalan untuk penumpas sel kanker. Pasien yang mengonsumsi secara berlebihan mengalami sakit tenggorokan mendadak dan juga mengalami pendarahan. Faktanya, biji mahkota dewa memang tidak boleh dikonsumsi karena sangat beracun. Selain itu, buah mahkota dewa dan temu putih tidak boleh diminum selagi haid karena akan memperhebat pendarahan. Hal ini berkaitan dengan khasiatnya yang memang menumpas sel kanker sekaligus menggerus dinding rahim . Fenomena lain terjadi pada Ginkgo, herbal yang makin laris untuk memompa daya ingat itu juga tidak aman seratus persen. Terapi herbal itu hanya akan efektif jika penurunan daya ingat disebabkan oleh melemahnya aliran darah ke otak. Kondisi seperti ini bisa diperbaiki dengan konsumsi Ginkgo. Bagaimana jika melemahnya daya ingat disebabkan oleh faktor lain, misalnya ketidakseimbangan hormonal? Tentu saja hal ini dapat menimbulkan efek negatif.
Selanjutnya, tanaman echinacea yang biasa digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh melawan flu sebaiknya tidak dikonsumsi oleh mereka yang mempunyai gangguan autoimun karena akan meningkatkan kerja sistem imun yang sudah terlalu aktif.
Suatu tanaman dapat dikategorikan sebagai tanaman obat jika telah melewati beberapa uji dan penelitian seperti penelitian fisik, kimiawi, farmakologis, biologis, dan uji toksisitas (racun). Tanaman obat yang tidak memenuhi ketentuan di atas, yaitu bahan bakunya belum terstandarkan, mudah tercemar, higroskopis, dan voluminous terhadap berbagai mikroorganisme dikatakan belum layak menjadi obat yang dapat dikonsumsi.
Pada beberapa obat yang berasal dari tumbuhan, bisa jadi kandungan zat aktifnya sangat sedikit. Maka tidak menutup kemungkinan ada pula senyawa selain zat aktif yang ikut terkonsumsi pula. Zat tersebut tidak berkhasiat, namun dapat pula mengganggu aktivitas biologis atau bahkan toksik untuk tubuh. Setiap tanaman memiliki jumlah dan jenis kandungan kimia berbeda. Kandungan beberapa zat kimia tertentu pada obat herbal dapat pula menimbulkan efek samping dan sifat toksik. Efek samping itu bisa disebabkan oleh zat itu sendiri maupun kontaminan (seperti pestisida dan zat pengotor) atau zat sintesis yang ditambahkan.
Pada tanaman obat sebetulnya terdapat pula penangkal atau penetral efek samping yang mungkin timbul. Hal ini terlihat misalnya pada kunyit. Kunyit memiliki zat yang merugikan tubuh, namun di dalam kunyit ada pula zat yang menekan dampak negatif tersebut . Lain halnya dengan tebu, meskipun perasan air tebu memiliki senyawa saccharant yang berfungsi sebagai anti diabetes, namun penderita diabetes (kencing manis) tetap saja tidak boleh mengonsumsi gula hasil pemurnian tebu .  Jadi, meskipun setiap tumbuhan ada zat penangkal efek sampingnya, perlu diperhatikan pula beberapa hal lain dari tumbuhan itu sendiri seperti jenis dan kandungan zat kimia tertentu yang ada di dalamnya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengonsumsi obat herbal. Salah satunya adalah konsentrasi obat herbal. Jika setelah diekstrak konsentrasinya lebih pekat, maka yang perlu dikonsumsi hanya sedikit. Beberapa obat herbal dapat rusak atau mengalami penguraian oleh panas, cahaya, dan udara (bereaksi dengan oksigen). Waspadalah, apabila belum lebih dari satu jam mengonsumsi herbal muncul gejala mual, diare, pusing, dan berkeringat deras! Hentikan konsumsi obat herbal dan segera konsultasikan kepada ahli herbal atau dokter.
Efek toksik obat herbal dapat dihindari jika cara pemakaiannya benar dan sudah teruji secara praklinik serta klinik. Selain itu, standardisasi obat herbal lebih tepat dilakukan jika diterapkan kaidah “Cara yang Benar” pada proses pembibitan hingga produksi. Bukan hanya itu, pemerintah dalam hal ini BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) harus berperan aktif dalam pengawasan. Khasiat dan keamanan obat herbal harus sudah teruji sebelum obat-obat tersebut mendapat izin edar. Hingga kini, jumlah obat herbal terstandar diketahui ada 19 produk dan fitofarmaka baru 5 produk . Oleh karena itu, telitilah sebelum membeli serta harus pintar dan selektif dalam mengonsumsi. Terutama terhadap kuantitas obat herbal, jenis, zat yang terkandung, dan efek lainnya terhadap tubuh.